Prinsip-Prinsip Fisika pada Sayap Pesawat Terbang

Pernah memperhatikan pesawat terbang atau menumpanginya? Penulis yakin kebanyakan dari kita pernah melakukan paling tidak salah satu dari hal tersebut, baik itu terkait “pesawat terbang” yang seperti ini, alias pesawat kertas:
ed29-fisika-1
ataupun yang ini, pesawat Boeing 777-300ER terbaru milik Garuda Indonesia:
ed29-fisika-2
Di sini penulis akan memfokuskan pembahasan prinsip-prinsip fisika untuk tipe pesawat yang terakhir (ya iyalah… masa ya iya dong…). Pesawat ini jauh lebih besar, jauh lebih serius, dan seolah telah memperkecil dunia sejak pertama kali diluncurkan oleh Wright bersaudara pada tahun 1903 silam. Sejak peluncuran “mesin terbang” pertama di dunia saat itu, sudah ribuan “burung besi” dibuat dan diterbangkan di seluruh penjuru dunia. Hal ini tentunya sering menimbulkan rasa takjub bagi orang-orang yang memperhatikannya.
Robert L. Wolke, seorang profesor kimia yang juga penulis terkenal, telah menulis sebuah buku berjudul What Einstein Told His Barber: More Scientific Answers to Everyday Questions (dalam bahasa Indonesia berjudul Kalau Einstein Lagi Cukuran, Ngobrolin Apa Ya? Lebih Banyak Penjelasan Ilmiah untuk Peristiwa Sehari-hari). Dalam buku tersebut salahsatunya diulas tentang mekanisme terbangnya pesawat. Di dalam tulisannya ia mengakui, “I looked up in utter dis-belief at the four-hundred-ton monster that had just wafted me across the Atlantic Ocean at an altitude of more than five miles (eight kms) above Earth’s surface.”
Terkadang memang sulit bagi kita membayangkan bagaimana bisa sebuah bongkahan logam seberat empat ratus ton membawa kita terbang di udara selama berjam-jam pada ketinggian rata-rata 10 kilometer. Namun, jelas-jelas itu bisa terjadi, dan, ia terjadi tiap hari. Jadi kita tidak perlu bingung, segera akan dijelaskan bagaimana hal itu bisa terjadi.
Dari buku yang sama itu, penulis mengutip penjelasan yang akan disampaikan dalam tulisan ini. Pertama-tama, mari kita ingat-ingat sedikit, di pelajaran sekolah sudah banyak dibahas mengenai prinsip-prinsip fisika di balik terbangnya pesawat. Masalahnya, seringkali, kalau bukan selalu, para pelajar diarahkan untuk mempercayai begitu saja bahwa pesawat dapat terbang hanya karena sebuah prinsip yang dikenal dengan nama Prinsip Bernoulli. Prinsip ini, seperti sudah jelas dari namanya, dirumuskan oleh seorang matematikawan Swiss bernama Daniel Bernoulli (1700-1782), yang merumuskan konsep dinamika fluida dalam persamaan berikut:
p_1 + \frac{1}{2} \rho v_1^2 + \rho g h_1 = p_2 + \frac{1}{2} \rho v_2^2 + \rho g h_2
Bagi yang tidak familiar dengan fisika, jangan langsung mual. Ketiga suku pada masing-masing ruas persamaan ini hanya merunutkan tekanan (p) yang diberikan si fluida, energi gerak fluida per satuan volume (\rho v^2), dan energi potensial fluida per satuan volume (ρgh) pada dua buah titik yang berbeda (dinyatakan oleh indeks 1 dan 2).
Fakta alam yang ingin ditunjukkan oleh persamaan Bernoulli ini adalah, bahwa ketika sebuah fluida (entah apakah itu air, semilir angin, atau hasil buang gas orang di sebelah Anda) bergerak lebih cepat, tekanan fluida tersebut terhadap lingkungan sekitarnya akan berkurang. Kejadian ini mirip seperti seorang pelari, yang lebih sulit untuk mendorong orang di sampingnya daripada ketika ia berjalan normal.
Cukupkah Prinsip Bernoulli saja?
Lantas, apa hubungannya dengan pesawat terbang? Menurut orang-orang yang sudah puas dengan prinsip Bernoulli sebagai satu-satunya mekanisme di balik kemampuan pesawat terbang, sayap pesawat dirancang sedemikian rupa dengan bagian atas yang lebih melengkung dari bagian bawah (kenyataannya memang begitu). Dengan rancangan sayap semacam itu, menurut mereka, ketika udara melalui sayap pesawat, udara yang melintas di bagian atas akan melintas lebih jauh. Oleh karena waktu tempuh udara di atas sayap dan di bawah sayap sama (asumsi waktu transit sama), kecepatan udara diatas sayap lebih besar, yang berarti, tekanan di atas sayap lebih kecil daripada di bawah. Adanya perbedaan tekanan menyebabkan adanya gaya tekan udara, yang totalnya mengarah ke atas. Hal inilah yang diklaim menjadi sebab utama pesawat dapat terbang.
Penampang sayap pesawat dan diagram aliran angin di sekeliling sayap pesawat (gambar dari Boeing, Inc.)
Penampang sayap pesawat dan diagram aliran angin di sekeliling sayap pesawat (gambar dari Boeing, Inc.)
Sebenarnya teori tersebut hampir semuanya benar, kecuali untuk satu hal: asumsi waktu transit sama hampir tidak berlaku pada kenyataan sebenarnya. Tidak ada alasan penting bagi udara yang terpecah ke atas dan ke bawah sayap untuk kembali bertemu dalam waktu bersamaan. Dengan demikian, meskipun mungkin aliran udara di bagian atas sayap memang mengalir lebih cepat daripada di bawah sayap, perbedaan kecepatan yang ada tidak akan mampu untuk mengangkat pesawat ketika hanya prinsip Bernoulli yang diperhitungkan. Supaya perbedaan kecepatan itu bisa cukup besar sesuai prinsip Bernoulli, sayap pesawat harus dibuat sedemikian melengkung layaknya punggung paus! Namun, sayap yang seperti itu justru akan lebih membebani pesawat lagi sehingga akan jauh lebih sulit untuk sekadar mengangkat pesawat.
Prinsip apa lagi, dong?
Lalu, kalau bukan hanya karena Prinsip Bernoulli, lantas apa faktor utama yang menyebabkan pesawat bisa terbang? Sekarang serahkan tampuk penjelasan kepada Isaac Newton (1642-1727). Newton, sebagaimana banyak orang ketahui, terkenal terutama atas ketiga hukumnya mengenai gerak, dan juga karena hukum gravitasi-nya Newton (soalnya Einstein teori gravitasi yang lain). Ketiga hukum Newton ini amat berguna karena dapat diaplikasikan pada hampir semua kondisi di alam semesta, selama benda yang ditinjau tidak terlalu ringan (lebih ringan dari sebuah elektron) atau tidak bergerak terlalu cepat (mendekati kecepatan cahaya). Lalu, bagaimana hukum Newton diaplikasikan pada sayap pesawat terbang?
Sabar dulu… Begini… Rancangan sayap yang telah disebutkan pada penjelasan prinsip Bernoulli, selain membuat aliran udara yang sedikit lebih cepat di bagian atas sayap daripada di bagian bawah, ternyata juga menghembuskan udara yang dibelahnya ke arah bawah. Kok bisa? Ini semua bermula dari kenyataan bahwa sebuah fluida yang mengalir di permukaan sebuah benda lengkung akan cenderung untuk mengikuti bentuk lengkung benda (meskipun pada akhirnya akan menyimpangkan arah laju fluida) sebelum kemudian melanjutkan perjalanan. Efek ini dikenal dengan nama Efek Coandă, merujuk kepada ahli aerodinamika Henri-Marie Coandă (1885-1972). Contoh efek Coandă dalam kehidupan sehari-hari dapat kita lihat pada aliran air yang berbelok di sekitar lengkungan kepala sendok (kita bisa coba juga pada permukaan gelas).
Contoh efek Coandă.
Contoh efek Coandă.
 Sekarang bayangkan udara yang mengalir di atas dan di bawah sayap pesawat. Sayap pesawat membelah aliran udara menjadi ke atas dan ke bawah, dan sesuai dengan efek Coandă, udara yang mengalir di sayap pesawat akan mengikuti bentuk lekukan sayap tersebut. Disinilah kuncinya: Bentuk sayap yang sedemikian rupa membuat udara yang mengalir di atas ‘diarahkan’ sehingga secara umum lebih banyak udara yang dihembuskan ke arah bawah. Dari fakta ini, sesuai hukum 3 Newton, dengan adanya udara yang dihembuskan ke bawah oleh sayap, udara di bawah pesawat akan ‘balas mendorong’ pesawat. Nah! “Balasan” inilah yang menjadi gaya angkat pesawat!
α adalah “angle of attack” dari pesawat.
α adalah “angle of attack” dari pesawat.
Ah, ada satu faktor lagi. Jika kita lihat penampang melintang sayap pesawat, akan kita dapati bidang sayap pesawat tidaklah sejajar dengan tubuh pesawat, tetapi agak miring di bagian depan (yang disebut sebagai angle of attack) dengan sudut sekitar 4 derajat untuk pesawat-pesawat kecil. Dengan bentuk seperti ini, udara yang dilintasi pesawat akan sedikit ‘tertahan’ di bagian bawah sayap, yang akhirnya mendorong sayap ke atas. Efek serupa dapat kita jumpai jika kita merentangkan tangan keluar kaca jendela mobil yang melaju, dan menaikkan sisi yang menghadap arah angin sedikit. Akan ada dorongan yang cukup kuat ke atas. Prinsip-prinsip inilah, dengan sedikit kontribusi prinsip Bernoulli, yang menjadi faktor utama di balik terbangnya sebuah pesawat.
(disadur dari buku Kalau Einstein Lagi Cukuran, Ngobrolin Apa Ya? Lebih Banyak Penjelasan Ilmiah untuk Peristiwa Sehari-hari, halaman 19-21 dengan banyak perubahan)
Penulis:
Gianluigi Grimaldi Maliyar, mahasiswa S1 di Tohoku University, Jepang.
Kontak: gian.gmaliyar(at)gmail(dot)com.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pipa Kapiler

Prinsip Kerja Handpone layar sentuh (touchscreen) dalam fisika